Apa Bisa ?
“Kring-kring”, bunyi jam rumahku mulai
berdering. Pagi ini berjalan seperti biasa, ibuku selalu memasang jam alarm
tepat pukul 05.00 WIB. Semua orang di dalam rumah mulai sibuk dengan aktivitasnya.
Ibuku siap dengan penggorengan dan celemeknya, sedangkan kedua kakak perempuan
dan ayahku bergantian untuk mandi.
“Karou diminum dulu
sayang susunya, habis itu baru kamu mandi yah!” kata ibuku.
“Iya ma” jawabku.
Ohh
iya, sampai aku lupa baiknya aku kenalkan dulu lebih dalam tentangku. Namaku Karou
Sabila, saat itu aku masih berumur 7 tahun dan duduk di bangku kelas 2 Sekolah
Dasar Negeri 01 pagi Kebayoran Lama. Aku
senang bisa bersekolah dan mendapat teman-teman yang baik padaku, mereka adalah
Ani, Shinta, dan Manda. Setiap pagi di hari Senin sampai Sabtu bukan hal yang
aku benci seperti kebanyakan pelajar lainnya. Aku senang bisa selalu pergi ke
sekolah tempatku bisa menghabiskan separuh hariku bersama sahabat-sahabat
tersayang.
**
“Dor” suara mengagetkan
seorang wanita sambil menepuk pundakku.
“Manda, bikin aku kaget
aja!” balasku sambil merangkulnya
“Gimana rou, tugas MTK
yang kemarin kamu udah ngerjain? Aku bingung deh takut salah, semoga bener yang
aku kerjain sama abang aku” kata Manda sambil tersenyum.
“Iya aku juga takut
salah, tapi kan Ibu Atik baik jadi kita gak bakal dimarahin. Ngomomg-ngomong
udah jam segini, Ani sama Shinta kok belom dateng?” kataku sambil melihat ke
sekeliling.
“Iya nih tumben, nanti
kita berempat duduk di bawah pohon keramat aja yah pas istirahat”
‘‘Pohon keramat itu
tempat favorit siswa SD 01 Pagi Kebayoran Lama, tempatnya rindang dan sejuk.
Biasanya, semua anak pasti akan dulu-duluan untuk menempati lahan itu. Walaupun
kami masih kelas 2 kami tidak takut bersaing dulu-duluan agar tempat itu bisa kami
tempati. Siapa cepat di dapat bukan” kataku dalam lamunan.
Suara bel jam istirahat pun berbunyi anak-anak mulai berhamburan
keluar seperti baru terbebas dari belenggu penjara. Hari ini berjalan dengan
lancar, dua mata pelajaran sudah aku pelajari dengan baik hari ini. Segera aku
bergegas membereskan semua peralatan sekolahku dan aku berlari kecil mengikuti
Ani dan Manda yang sudah terlebih dahulu keluar, agar lebih dulu mendapatkan
lahan favorit kami.
“Shinta mana kok gak
ikut?” tanyaku bingung.
“Ohh dia disuruh bantuin
Ibu Atik bawa buku ke ruang guru, masa kamu gak tau tadi kan dia teriak manggil
Shinta anak kesayangannya itu” kata Ani sambil mengunyah biskuit cokelat yang
sudah hampir memenuhi rongga mulutnya.
Dari
kejauhan aku melihat Shinta berlari kencang sambil memanggil namaku. Kami
bertiga sontak terpanah melihat ke arah Shinta yang baru saja tiba di depan
kami sambil memegang dadanya karena lelah berlari.
“Rou, Rou” ucapnya
sambil tersengal-sengal.
“Nafas dulu Shin baru
ngomong” kata Ani yang masih saja makan biskuitnya yang entah dia membelinya
berapa buah.
“Ihh kamu An, makan
doang sih kerjaannya ini tuh gawat lebih penting dari kue kamu itu “ kata
Shinta sambil bertolak pinggang dan memicingkan mata ke Ani.
“Emang ada apaan sih
Shin kok kamu serius banget?” tanyaku penasaran.
“Rou, tadi di ruang guru ada ibu kamu, dia
nyariin Ibu Atik dan aku gak sengaja nguping kalo kamu mau pindah sekolah ke
Malang” jawabnya sedih.
“HAH! Ke Malang?” Kata
Ani dan Manda serempak. “Serius kamu?” tambah Ani. “Jauh banget dong pindahnya”
seru Manda.
. Di saat itu aku hanya terpaku mendengar kabar dari
Shinta. Suara riuh Ani, Manda, dan Shinta bagai tak terdengar lagi di
telingaku. “ Lagi! lagi!” dalam batin ku, aku bersuara Tanpa pikir panjang lagi
aku bergegas lari menuju tempat ibuku berada, berharap dalam hati yang dilihat
dan didengar Shinta itu salah besar. Tapi, ternyata semua itu benar. Aku sangat
marah sekaligus sedih karena aku harus meninggalkan sahabat – sahabatku. Aku
tidak dapat membendung air mata saat aku berpamitan kepada ketiga sahabatku
itu.
**
Aku termenung keluar jendela melihat hijaunya sawah yang
membentang sepanjang jalan. Tetapi itu sudah tidak menarik lagi, tidak seperti
sebelum-sebelumnya pemandangan yang selalu aku kagumi saat tiba waktunya menuju
hari kebesaran umat muslim.
“Karou, kamu kenapa?”
tanya kakak keduaku yang membuyarankan lamunanku.
“Emm gakpapa kok mbak”
jawabku lemas. “ kira-kira kita sampe
malang berapa jam lagi mbak?, Karou uda capek nih pengen cepet-cepet nyampe.”
kataku sambil tetap menatap keluar jendela.
“Tumben banget,
biasanya kamu orang yang paling seneng kalo kita pulang ke kampong. Kenapa
sekarang kamu yang paling keliatan gak antusias gitu?” tanyanya sambil
memicingkan matanya menatapku bingung.
Aku tetap menatap keluar jendela tanpa memerdulikan apa
kata kakakku itu. Dia tidak mengerti semua perasaanku, aku harus meninggalkan
ketiga sahabatku dan pindah disaat aku merasa nyaman dengan mereka. Aku memang
suka pergi ke Malang setiap tahunnya, tetapi ini berbeda karena aku harus
menetap dan tinggal disana. Bukannya aku tidak suka dengan orang-orang yang ada
di sana, karena memang pada dasarnya aku dilahirkan oleh seorang ibu yang lahir
dan dibesarkan di Jawa Timur. Hanya saja, aku memang benar-benar tidak pernah mengerti
saat mereka berbicara denganku menggunakan bahasa Jawa. Jadi, apa bisa aku aku
beradaptasi?. Apa bisa aku mendapatkan teman-teman seperti di Jakarta?. Apa
bisa aku mendapatkan guru yang baik dan dapat membimbingku seperti di Jakarta?.
Aku bingung, aku merasa bahwa aku tidak akan mendapatkan hal yang sama seperti
yang aku dapatkan di Jakarta.
**
“Kringkring!”. Bel tanda masuk sekolah berbunyi, semua
anak sibuk untuk masuk ke kelasnya masing-masing. Aku duduk disalah satu bangku
taman yang dikelilingi oleh kelas-kelas di sekolah baruku. Semua orang jelas
menatapku aneh, aku juga menatap mereka dengan tatapan yang aneh. Aku tidak
peduli pada mereka, aku sangat tidak menyukai tempat baruku ini.
“Karou!” terdengar
suara seorang perempuan memanggilku. Aku langsung menoleh dan ternyata itu
adalah ibuku. “Iya, ma” jawabku segera dan berlari menuju kearahnya.
“Kenalin ini Bapak
Suminto, wali kelas baru kamu” kata ibuku. Segera aku menatap dan bersalaman
dengan Bapak Suminto
“Oh, ini yang namanya Karou.
Kalau saya liat prestasi kamu, kamu pintar juga ya.. Semoga kamu di sini bisa
mengikuti pelajaran dengan baik dan kamu dapat beradaptasi dengan cepat”
katanya. “iya, pak” jawabku lemas.
“Kok lemes sih
jawabnya? yang semangat dong, kan ini hari pertama kamu. Ah ya sudahlah, ayo
kita segera masuk ke kelas saja” setelah Bapak Suminto berpamitan dengan ibuku,
ia mulai berjalan menuju kelas dan segera aku mengikuti langkah Bapak Suminto
dari belakang.
“Selamat pagi
anak-anak!” suara keras Bapak Suminto memecah keributan yang terjadi di dalam
kelas. “Pagi pak!” jawab anak-anak serentak.
Sejenak suara bertambah riuh dan semua mata tertuju
padaku. Mereka semua melihat kearahku sambil berbisik. Tetapi aku sama sekali
tidak memerdulikan mereka yang sibuk membicarakanku.
“Tenang, tenang semua.
Ini adalah Karou, dia murid baru di sini pindahan dari Jakarta” jelas Bapak
Suminto.
“Oh, Jakarta” ucap
seluruh anak yang berada di dalam kelas itu.
“Nah, sekarang kamu
duduk di sebelah Hasan ya. Di sana kosong” kata Bapak Suminto. “Iya, pak”
jawabku dan segera menuju kearah yang ditunjuk oleh Bapak Suminto.
“Iya, baiklah
anak-anak. Sekarang buka buku pelajaran kalian yang saya suruh pelajari di
rumah dan untuk tugas matematika yang saya berikan, segera kumpulkan di atas
meja saya” katanya.
“Halo, namaku Hasan”
sapa anak yang duduk tepat di sampingku seraya menjulurkan tangannya. “Aku
tidak peduli” jawabku ketus sambil membuka tasku.
“Kamu dari Jakarta ya?.
Hmm cek keren rek, aku sakjane tau ndelok
sekolah-sekolah ndek Jakarta. Sekolahane apik-apik yo?” ucap Hasan tak
berhenti bicara.
“Kamu bisa diem gak sih?
Udah tau lagi di dalam kelas” kataku yang dapat membuat Hasan berhenti bicara.
“Ya Allah, pancenan. Aku lek ndelok sinetron-sinetron ndek tv, yo koyok
ngene. Arek-arek ndek Jakarta galak, podo ambek sampean. Yoweslah ora opo-opo,
nanti nang kantin bareng yo” kata Hasan. Namun, aku hanya terdiam dan
menatapnya dengan tatapan sinis.
Hari berganti hari aku tinggal di Malang, aku merasa
tempat ini semakin memburuk. Hasan yang selalu mengikuti aku kemanapun aku
pergi dan belum lagi guruku yang memaksaku untuk selalu menjawab pertanyaan
darinya, membuatku semakin tidak suka berada di tempat ini.
**
Hari kenaikan kelas tiba, seperti biasa ibuku yang
mengambil rapotku. Sudah kuduga semua ini akan terjadi.
“Rou, kenapa nilai kamu
banyak yang jelek?” bentak ibuku. “ Karou gak tau, habisan gurunya ngajar pake
bahasa Jawa” jawabku, dan ibuku mencoba untuk percaya kepada semua kata-kataku.
Saat ini aku telah berada di kelas baru dengan
taman-teman yang sama, tetapi tidak dengan Hasan. Pagi itu terasa cerah, karena
aku sudah mengetahui bahwa anak itu tidak berada di kelas yang sama denganku.
Akhirnya aku terbebas darinya, dan wali kelasku juga sudah digantikan oleh guru
lain.
Aku berfikir hidupku akan jauh lebih baik tanpa kehadiran
Hasan, tetapi ternyata aku merasa sendiri dan tidak memiliki teman. Aku
beberapa kali mencoba untuk melewati kelas Hasan dan berharap dia akan
memanggil untuk mengajakku bermain, tetapi ia sibuk dengan teman-teman barunya.
Saat ini aku menyesal karena aku telah menolak sebuah pertemanan dari Hasan.
Hari itu cuaca terasa tidak bersahabat, aku duduk sendiri
disebuah bangku taman. Aku termenung melihat awan yang terasa akan meluapkan
banyak air hujan. Dan, lamunanku tiba-tiba terpecah karena hujan deras yang
turun. Aku bingung, hujan turun sangat deras tetapi tidak ada air hujan yang
mengenai tubuhku. Saat aku menoleh ke belakang, ternyata Hasan sedang
melindungiku dari air hujan dengan payungnya.
“Hasan?, dari kapan
kamu di sini?” tanyaku. “Daritadi, Rou. Aku melihat kamu kehujanan, jadi aku
cepat-cepat ambil payung buat kamu. Kamu ngapain sendirian di sini?, kenapa
kamu gak main sama aku?” katanya.
Aku
hanya terpaku malihatnya kembali hadir di dalam hidupku. Aku ingin sekali dapat
berkata bahwa aku rindu kepadanya dan menyesal karena perbuatanku kepadanya
selama ini. Tetapi, kata-kata itu tidak dapat keluar dari mulutku dan hanya
berada di dalam hatiku saja. Segera kurangkul dia dan aku berkata “ayo kita
main bareng!”, Hasan tersenyum lebar dan segera menyambut ajakanku
Mulai
dari hari itu, aku semakin akrab dan bahkan aku sudah bersahabat dengan Hasan. aku
juga banyak memiliki teman lain. Aku merasa, bahwa tempat ini tak seburuk yang
aku kira.
Semakin
aku beranjak dewasa, persahabatan aku dengan Hasan semakin erat. Aku merasa
sangat nyaman dan bahagia jika berada didekatnya. Dia selalu dapat membuat aku
tersenyum. Tapi, saat ini aku sangat gelisah. Aku takut jika suatu saat nanti aku berada jauh
darinya. Aku tidak dapat membayangkan seperti apa aku tanpanya. Aku tidak bisa
dan tidak ingin membayangkannya. Saat ini yang aku inginkan hanyalah menikmati
waktu yang aku punya bersama Hasan. Sebelum nantinya aku pergi lagi.
**
Nama : Firda Nur Zanah
NPM : 12515706
Kelas : 1PA06
Tugas : Softskill
Tidak ada komentar:
Posting Komentar