Kamis, 24 September 2015

Tugas softskill (IBD) -> Cerpen


Apa Bisa ?


 “Kring-kring”, bunyi jam rumahku mulai berdering. Pagi ini berjalan seperti biasa, ibuku selalu memasang jam alarm tepat pukul 05.00 WIB. Semua orang di dalam rumah mulai sibuk dengan aktivitasnya. Ibuku siap dengan penggorengan dan celemeknya, sedangkan kedua kakak perempuan dan ayahku bergantian untuk mandi.
“Karou diminum dulu sayang susunya, habis itu baru kamu mandi yah!” kata ibuku.
“Iya ma” jawabku.
Ohh iya, sampai aku lupa baiknya aku kenalkan dulu lebih dalam tentangku. Namaku Karou Sabila, saat itu aku masih berumur 7 tahun dan duduk di bangku kelas 2 Sekolah Dasar Negeri  01 pagi Kebayoran Lama. Aku senang bisa bersekolah dan mendapat teman-teman yang baik padaku, mereka adalah Ani, Shinta, dan Manda. Setiap pagi di hari Senin sampai Sabtu bukan hal yang aku benci seperti kebanyakan pelajar lainnya. Aku senang bisa selalu pergi ke sekolah tempatku bisa menghabiskan separuh hariku bersama sahabat-sahabat tersayang.

**

“Dor” suara mengagetkan seorang wanita sambil menepuk pundakku.
“Manda, bikin aku kaget aja!” balasku sambil merangkulnya
“Gimana rou, tugas MTK yang kemarin kamu udah ngerjain? Aku bingung deh takut salah, semoga bener yang aku kerjain sama abang aku” kata Manda sambil tersenyum.
“Iya aku juga takut salah, tapi kan Ibu Atik baik jadi kita gak bakal dimarahin. Ngomomg-ngomong udah jam segini, Ani sama Shinta kok belom dateng?” kataku sambil melihat ke sekeliling.
“Iya nih tumben, nanti kita berempat duduk di bawah pohon keramat aja yah pas istirahat”
‘‘Pohon keramat itu tempat favorit siswa SD 01 Pagi Kebayoran Lama, tempatnya rindang dan sejuk. Biasanya, semua anak pasti akan dulu-duluan untuk menempati lahan itu. Walaupun kami masih kelas 2 kami tidak takut bersaing dulu-duluan agar tempat itu bisa kami tempati. Siapa cepat di dapat bukan” kataku dalam lamunan.
            Suara bel jam istirahat pun berbunyi anak-anak mulai berhamburan keluar seperti baru terbebas dari belenggu penjara. Hari ini berjalan dengan lancar, dua mata pelajaran sudah aku pelajari dengan baik hari ini. Segera aku bergegas membereskan semua peralatan sekolahku dan aku berlari kecil mengikuti Ani dan Manda yang sudah terlebih dahulu keluar, agar lebih dulu mendapatkan lahan favorit kami.
“Shinta mana kok gak ikut?” tanyaku bingung.
“Ohh dia disuruh bantuin Ibu Atik bawa buku ke ruang guru, masa kamu gak tau tadi kan dia teriak manggil Shinta anak kesayangannya itu” kata Ani sambil mengunyah biskuit cokelat yang sudah hampir memenuhi rongga mulutnya.
            Dari kejauhan aku melihat Shinta berlari kencang sambil memanggil namaku. Kami bertiga sontak terpanah melihat ke arah Shinta yang baru saja tiba di depan kami sambil memegang dadanya karena lelah berlari.
“Rou, Rou” ucapnya sambil tersengal-sengal.
“Nafas dulu Shin baru ngomong” kata Ani yang masih saja makan biskuitnya yang entah dia membelinya berapa buah.
“Ihh kamu An, makan doang sih kerjaannya ini tuh gawat lebih penting dari kue kamu itu “ kata Shinta sambil bertolak pinggang dan memicingkan mata ke Ani.
“Emang ada apaan sih Shin kok kamu serius banget?” tanyaku penasaran.
 “Rou, tadi di ruang guru ada ibu kamu, dia nyariin Ibu Atik dan aku gak sengaja nguping kalo kamu mau pindah sekolah ke Malang” jawabnya sedih.
“HAH! Ke Malang?” Kata Ani dan Manda serempak. “Serius kamu?” tambah Ani. “Jauh banget dong pindahnya” seru Manda.
            . Di saat itu aku hanya terpaku mendengar kabar dari Shinta. Suara riuh Ani, Manda, dan Shinta bagai tak terdengar lagi di telingaku. “ Lagi! lagi!” dalam batin ku, aku bersuara Tanpa pikir panjang lagi aku bergegas lari menuju tempat ibuku berada, berharap dalam hati yang dilihat dan didengar Shinta itu salah besar. Tapi, ternyata semua itu benar. Aku sangat marah sekaligus sedih karena aku harus meninggalkan sahabat – sahabatku. Aku tidak dapat membendung air mata saat aku berpamitan kepada ketiga sahabatku itu.

**

            Aku termenung keluar jendela melihat hijaunya sawah yang membentang sepanjang jalan. Tetapi itu sudah tidak menarik lagi, tidak seperti sebelum-sebelumnya pemandangan yang selalu aku kagumi saat tiba waktunya menuju hari kebesaran umat muslim.
“Karou, kamu kenapa?” tanya kakak keduaku yang membuyarankan lamunanku.
“Emm gakpapa kok mbak” jawabku lemas.  “ kira-kira kita sampe malang berapa jam lagi mbak?, Karou uda capek nih pengen cepet-cepet nyampe.” kataku sambil tetap menatap keluar jendela.
“Tumben banget, biasanya kamu orang yang paling seneng kalo kita pulang ke kampong. Kenapa sekarang kamu yang paling keliatan gak antusias gitu?” tanyanya sambil memicingkan matanya menatapku bingung.
            Aku tetap menatap keluar jendela tanpa memerdulikan apa kata kakakku itu. Dia tidak mengerti semua perasaanku, aku harus meninggalkan ketiga sahabatku dan pindah disaat aku merasa nyaman dengan mereka. Aku memang suka pergi ke Malang setiap tahunnya, tetapi ini berbeda karena aku harus menetap dan tinggal disana. Bukannya aku tidak suka dengan orang-orang yang ada di sana, karena memang pada dasarnya aku dilahirkan oleh seorang ibu yang lahir dan dibesarkan di Jawa Timur. Hanya saja, aku memang benar-benar tidak pernah mengerti saat mereka berbicara denganku menggunakan bahasa Jawa. Jadi, apa bisa aku aku beradaptasi?. Apa bisa aku mendapatkan teman-teman seperti di Jakarta?. Apa bisa aku mendapatkan guru yang baik dan dapat membimbingku seperti di Jakarta?. Aku bingung, aku merasa bahwa aku tidak akan mendapatkan hal yang sama seperti yang aku dapatkan di Jakarta.

**

            “Kringkring!”. Bel tanda masuk sekolah berbunyi, semua anak sibuk untuk masuk ke kelasnya masing-masing. Aku duduk disalah satu bangku taman yang dikelilingi oleh kelas-kelas di sekolah baruku. Semua orang jelas menatapku aneh, aku juga menatap mereka dengan tatapan yang aneh. Aku tidak peduli pada mereka, aku sangat tidak menyukai tempat baruku ini.
“Karou!” terdengar suara seorang perempuan memanggilku. Aku langsung menoleh dan ternyata itu adalah ibuku. “Iya, ma” jawabku segera dan berlari menuju kearahnya.
“Kenalin ini Bapak Suminto, wali kelas baru kamu” kata ibuku. Segera aku menatap dan bersalaman dengan Bapak Suminto
“Oh, ini yang namanya Karou. Kalau saya liat prestasi kamu, kamu pintar juga ya.. Semoga kamu di sini bisa mengikuti pelajaran dengan baik dan kamu dapat beradaptasi dengan cepat” katanya. “iya, pak” jawabku lemas.
“Kok lemes sih jawabnya? yang semangat dong, kan ini hari pertama kamu. Ah ya sudahlah, ayo kita segera masuk ke kelas saja” setelah Bapak Suminto berpamitan dengan ibuku, ia mulai berjalan menuju kelas dan segera aku mengikuti langkah Bapak Suminto dari belakang.
“Selamat pagi anak-anak!” suara keras Bapak Suminto memecah keributan yang terjadi di dalam kelas. “Pagi pak!” jawab anak-anak serentak.
            Sejenak suara bertambah riuh dan semua mata tertuju padaku. Mereka semua melihat kearahku sambil berbisik. Tetapi aku sama sekali tidak memerdulikan mereka yang sibuk membicarakanku.
“Tenang, tenang semua. Ini adalah Karou, dia murid baru di sini pindahan dari Jakarta” jelas Bapak Suminto.
“Oh, Jakarta” ucap seluruh anak yang berada di dalam kelas itu.
“Nah, sekarang kamu duduk di sebelah Hasan ya. Di sana kosong” kata Bapak Suminto. “Iya, pak” jawabku dan segera menuju kearah yang ditunjuk oleh Bapak Suminto.
“Iya, baiklah anak-anak. Sekarang buka buku pelajaran kalian yang saya suruh pelajari di rumah dan untuk tugas matematika yang saya berikan, segera kumpulkan di atas meja saya” katanya.
“Halo, namaku Hasan” sapa anak yang duduk tepat di sampingku seraya menjulurkan tangannya. “Aku tidak peduli” jawabku ketus sambil membuka tasku.
“Kamu dari Jakarta ya?. Hmm cek keren rek, aku sakjane tau ndelok sekolah-sekolah ndek Jakarta. Sekolahane apik-apik yo?” ucap Hasan tak berhenti bicara.
“Kamu bisa diem gak sih? Udah tau lagi di dalam kelas” kataku yang dapat membuat Hasan berhenti bicara.
Ya Allah, pancenan. Aku lek ndelok sinetron-sinetron ndek tv, yo koyok ngene. Arek-arek ndek Jakarta galak, podo ambek sampean. Yoweslah ora opo-opo, nanti nang kantin bareng yo” kata Hasan. Namun, aku hanya terdiam dan menatapnya dengan tatapan sinis.
            Hari berganti hari aku tinggal di Malang, aku merasa tempat ini semakin memburuk. Hasan yang selalu mengikuti aku kemanapun aku pergi dan belum lagi guruku yang memaksaku untuk selalu menjawab pertanyaan darinya, membuatku semakin tidak suka berada di tempat ini. 

**

            Hari kenaikan kelas tiba, seperti biasa ibuku yang mengambil rapotku. Sudah kuduga semua ini akan terjadi.
“Rou, kenapa nilai kamu banyak yang jelek?” bentak ibuku. “ Karou gak tau, habisan gurunya ngajar pake bahasa Jawa” jawabku, dan ibuku mencoba untuk percaya kepada semua kata-kataku.
            Saat ini aku telah berada di kelas baru dengan taman-teman yang sama, tetapi tidak dengan Hasan. Pagi itu terasa cerah, karena aku sudah mengetahui bahwa anak itu tidak berada di kelas yang sama denganku. Akhirnya aku terbebas darinya, dan wali kelasku juga sudah digantikan oleh guru lain.
            Aku berfikir hidupku akan jauh lebih baik tanpa kehadiran Hasan, tetapi ternyata aku merasa sendiri dan tidak memiliki teman. Aku beberapa kali mencoba untuk melewati kelas Hasan dan berharap dia akan memanggil untuk mengajakku bermain, tetapi ia sibuk dengan teman-teman barunya. Saat ini aku menyesal karena aku telah menolak sebuah pertemanan dari Hasan.
            Hari itu cuaca terasa tidak bersahabat, aku duduk sendiri disebuah bangku taman. Aku termenung melihat awan yang terasa akan meluapkan banyak air hujan. Dan, lamunanku tiba-tiba terpecah karena hujan deras yang turun. Aku bingung, hujan turun sangat deras tetapi tidak ada air hujan yang mengenai tubuhku. Saat aku menoleh ke belakang, ternyata Hasan sedang melindungiku dari air hujan dengan payungnya.
“Hasan?, dari kapan kamu di sini?” tanyaku. “Daritadi, Rou. Aku melihat kamu kehujanan, jadi aku cepat-cepat ambil payung buat kamu. Kamu ngapain sendirian di sini?, kenapa kamu gak main sama aku?” katanya.
Aku hanya terpaku malihatnya kembali hadir di dalam hidupku. Aku ingin sekali dapat berkata bahwa aku rindu kepadanya dan menyesal karena perbuatanku kepadanya selama ini. Tetapi, kata-kata itu tidak dapat keluar dari mulutku dan hanya berada di dalam hatiku saja. Segera kurangkul dia dan aku berkata “ayo kita main bareng!”, Hasan tersenyum lebar dan segera menyambut ajakanku
Mulai dari hari itu, aku semakin akrab dan bahkan aku sudah bersahabat dengan Hasan. aku juga banyak memiliki teman lain. Aku merasa, bahwa tempat ini tak seburuk yang aku kira.
Semakin aku beranjak dewasa, persahabatan aku dengan Hasan semakin erat. Aku merasa sangat nyaman dan bahagia jika berada didekatnya. Dia selalu dapat membuat aku tersenyum. Tapi, saat ini aku sangat gelisah. Aku takut  jika suatu saat nanti aku berada jauh darinya. Aku tidak dapat membayangkan seperti apa aku tanpanya. Aku tidak bisa dan tidak ingin membayangkannya. Saat ini yang aku inginkan hanyalah menikmati waktu yang aku punya bersama Hasan. Sebelum nantinya aku pergi lagi.

**
Nama : Firda Nur Zanah
NPM  : 12515706
Kelas : 1PA06
Tugas : Softskill

Tidak ada komentar:

Posting Komentar